Merindukan Kematian

ilustrasi-_121108102822-658

Hidup selalu menghadirkan dua sisi yang tidak dapat terelakkan, yaitu kebahagiaan dan kesedihan. Dua sisi itu Allah hadirkan sebagai bagian dari fase kehidupan.

Kesedihan yang terkadang membuat hidup tak nyaman, juga bahagia yang tak selalu menjadi kawan. Inti dari fase kehidupan itu adalah pendakian hidup yang senantiasa bermuara pada momen tak terbantahkan: kematian.

Kematian dilukiskan bak antrian dalam wawancara sebuah pekerjaan. Ia seolah hanya tinggal menunggu panggilan, sesuai urutan. Saat malaikat Zabaniyah datang tanpa undangan, jiwa dan raga pun tercabik, tertarik, tercekik, tiada kawan, hanya Tuhan sebagai sumber pertolongan.

“Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, pasti akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui, yang ghaib dan yang nyata lalu dia berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS Al-Jumuah: 8)

Cerminan dahsyatnya kematian seharusnya menjadi bahan renungan untuk tiap insan. Betapa kita benar-benar putus harapan saat kematian ada di hadapan. Kekayaan, jabatan, pasangan hidup nan menawan, dan segala hasrat keduniawian sirna saat panggilan itu menimpa kita secara tiba-tiba.

Semua yang bernyawa akan merasakan mati, begitu firman Allah mengingatkan kita dalam QS Al-Ankabut ayat 57. Pun Rasulullah SAW. juga menghadapi kematian merasakan sakitnya sakaratul maut.

Kematian Rasulullah dilukiskan Aisyah dengan berkucurnya keringat dari dahi, leher dan sekujur tubuh beliau. Rasulullah pun bersabda pada Aisyah, “Hai Aisyah, sesungguhnya ruh orang mukmin itu keluar dengan keringat dan ruh orang kafir keluar dari kedua rahangnya seperti nyawa keledai,” dan detik-detik kematian, beliau bersabda, “Kerjakanlah shalat, kerjakanlah shalat!” (HR. Thabrani)

Rasulullah—sebagaimana kita tahu telah terjamin masuk surga—hingga pada puncak sakaratul mautnya, apakah Allah mengundurkan waktu barang sejenak untuk tidak memerintahkan Izrail mencabut nyawanya? Apakah Rasulullah tidak merasakan sakit sama sekali?

Tidak. Sebagai manusia biasa, Rasulullah merasakan sakitnya saat ruh keluar dari tiap-tiap urat syarafnya—di luar konteks derajat kenabian.

Mengutip dari Imam Ghazali, dalam “Dzikrul Maut Wa Maa Ba’dahu”, beliau melukiskan betapa Rasulullah merasakan kepedihan yang sangat, bahkan tampak rintihan dari beliau hingga warna kulit beliau berubah. Dahi beliau juga berkeringat, hingga tarikan dan embusan nafasnya mengguncangkan tulang rusuk kanan dan kiri beliau sehingga orang-orang yang menyaksikan beliau menangis—berjuang menahan rasa sakit.

Dahsyatnya sakaratul maut pun membuat beliau terus berdoa tiada henti, “Ya Allah, ringankanlah atasku sakaratul maut,” adapun doa yang lain dalam riwayat Ibn Abd Dunya, “Ya Allah, sungguh Engkau mengambil ruh di antara urat-urat dan anak-anak jari. Ya Allah, tolonglah aku atas kematian dan ringankanlah.”

Esensi dari dua doa tersebut ialah bahwa Rasulullah lebih mengetahui pedih dan sakitnya sakaratul maut yang dideskripsikan bahwa kematian itu sama dengan tiga ratus kali tebasan dengan pedang.

Jika Rasulullah Saw saja meminta rukhsah pada Allah, lalu, bagaimana dengan kita? Adakah persiapan maksimal untuk menuju ke alam keabadian? Kembali Imam Ghazali menuturkan bahwa mengingat kematian dapat mengikis nafsu-nafsu duniawi yang penuh tipu daya ini.

Sebaliknya, tamak kepada dunia dan mengambilnya berlebihan, dapat melemahkan iman, menyisihkan zikir dari lisan, meruntuhkan baiknya perbuatan, hingga lalai terhadap kematian. Na’udzubillah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang memiliki cukup perbekalan sehingga rindu akan kematian.

Keutamaan Berbakti kepada Kedua Orang Tua

berbakti-kepada-orang-tua-ilustrasi-_120212200646-783Kasih kedua orang tua tak terkira. Berkat perantara jasa merekalah kehidupan di muka bumi ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Ada segudang alasan mengapa keduanya pantas dimuliakan.

Birrul walidain, berbakti kepada kedua orang tua, menurut dosen Fakultas Studi Islam Universitas Juanda Bogor Dr Amin Mahruddin, adalah perintah Allah SWT. Ini ditegaskan dalam deretan ayat dan hadis. Selama ketaatan itu dalam hal kebajikan dan bukan maksiat, wajib menghormatinya.

“Sekalipun keduanya non-Muslim, bahkan musyrik,” tuturnya. Ingat, wasiat seorang bijak, Luqman. Dalam Surah Lukman ayat 14, ia berpesan agar menaati keduanya. “Dosa besar jika mendurhakai mereka,” Lukman menyebut.

Budi orang tua untuk anak tak berpamrih. Karenanya, jasa-saja mereka sangat luar biasa. Ia menyebutkan kisah sahabat Rasulullah SAW yang menggendong ibunya ke manapun, di luar waktu shalat atau ke kamar mandi. Tulang punggung sahabat itu sampai terluka. Ketika hidup, itu adalah bentuk pengabdian. Namun, Rasul menegaskan, pengorbanan itu tak seberapa dibandingkan jasa mereka.

Ia mengungkapkan, ada beberapa bentuk birrul walidain selama keduanya masih hidup. Pertama, dalam bentuk akal pikiran. Maksudnya, kata Ustaz Amin,  jika orang tua meminta anaknya menyelesaikan suatu masalah, anak harus membantunya. Kedua, berbakti dalam bentuk tenaga, yaitu membantu, melayani, merawat orang tua. Sedangkan, bentuk finansial dengan mencukupi segala kebutuhannya.

Ada banyak faktor yang membuat air susu orang tua dibalas anaknya dengan tuba. Menurut Amin, di antaranya ialah pengaruh budaya Barat. Mereka menganggap orang tua sebagai beban, karena itu dititipkan di panti jompo. Islam tidak memperkenankan hal itu sehingga sanksi bagi pelakunya sangat berat. Ancamannya, Neraka Jahanam. “Bilang ‘uf’ saja dilarang, apalagi menelantarkan,” ujarnya berkilah.

Sejumlah tayangan di televisi, seperti sinetron yang kurang edukatif, disebut Amin, ikut andil mengikis empati anak kepada kedua orang tua. Perhatikan saja tayangan di sinteron, ada anak memaki ibunya, melawan, berbicara tidak ada tata karma. Contoh buruk itu mengundang anak-anak untuk mempraktikkannya.

Bedakan, lanjutnya, dengan kondisi dan suasana pendidikan di pesantren. Suasana pesantren mengajarkan pentingnya bertata karma. Untuk itulah, ia berpandangan salah satu upaya untuk mentradisikan berbakti ialah dengan mengarahkan anak ke pondok pesantren. Jika enggan memasukkan anaknya belajar di pesantren, ia meminta orang tua mendidik dan melakukan pengawasan ketat. Perhatikan tontonan, teman bergaul, dan segalanya. “Paling utama perkuat institusi keluarga,” paparnya.

Menurut Ustaz Mohay Attaly SAg, perintah berbakti terhadap kedua orang tua berada di posisi yang krusial. Ada di urutan ketiga menyusul amar menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika orang tua jahat, tetap hormati selama tidak menyuruh maksiat. “Tolaklah dengan halus,” katanya.

Berbakti kepada orang tua merupakan amalan yang tidak ada bandingnya. Anak yang rajin shalat, puasa, pulang-pergi umrah dan berhaji, tapi satu jengkal saja orang tuanya tidak ridha, surga itu tertutup. ”Ridha Allah terletak pada ridha orang tua,” ujarnya. Maka, mintalah ridha keduanya agar hidup tenang dan jangan membuat mereka murka.

Ia menyebutkan kisah, pada zaman Rasul, ada seorang ayah mencuri harta anaknya. Kasus ini dilaporkan kepada Rasul. Nabi menegaskan bahwa sekalipun harta itu milik anak, hakikatnya ada hak orang tua di sana. Karenanya, anak tak boleh sombong dan lupa diri.

Ia mengungkapkan, cara berbakti kepada orang tua bisa dilakukan secara lahir. Seperti dengan mengikuti segala nasihat baik, membuat hati mereka senang, dan berkata sopan. Dengan cara batin, lanjut Ustaz Mohay, setiap saat selalu mendoakan mereka. Karena bakti anak kepada orang tua tidak sebatas ketika mereka masih hidup, tapi selamanya.

Ia menambahkan, upaya pembiasaan berbakti itu bisa dilakukan dengan penerapan pendidikan Islam dalam keluarga. Ajarkan agama sejak dini. Berikan contoh yang baik. Tunjukkan bakti Anda kepada kedua orang tua. Niscaya, buah hati Anda akan berbakti dan melakukan kebaikan yang sama. “Sebelum terlambat, tanamkan agama sekarang di keluarga,” katanya.

Wasiat Rasulullah

ilustrasi-_121215215609-838

Suatu hari, Nabi SAW menyampaikan tiga wasiat kepada Abu Darda’ RA. Wasiat itu, tak hanya untuk diri Abu Darda seorang, tapi juga seluruh umat Islam. Tentu saja, wasiat itu memiliki makna yang dalam dan juga banyak keutamaan.

Ketiga wasiat itu, sebagaimana disampaikan Abu Darda adalah sebagai berikut. “Kekasihku (Muhammad SAW) mewasiatkan kepadaku tiga hal yang tidak akan aku tinggalkan selama hidupku, yaitu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, Shalat Dhuha, dan Shalat Witir sebelum tidur.” (HR Bukhari).

Sebagai umat Islam, kita semua hendaknya dapat mengamalkan dan melestarikan ketiga wasiat itu. Sebab, ketiga wasiat itu memiliki keutamaan yang besar.

Pertama, berpuasa tiga hari dalam setiap bulan Hijriyah. Puasa tiga hari itu sering disebut dengan puasa sunah Ayyamul Bidh, yaitu berpuasa pada 13, 14, dan 15 bulan Hijriyah. (HR Tirmidzi dan Nasa’i). Meskipun hanya tiga hari dalam setiap bulan, puasa sunah ini memiliki keistimewaan besar di sisi Allah SWT.

Nabi SAW bersabda, “Berpuasalah tiga hari pada setiap bulan. Sesungguhnya, setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Artinya, itu sama dengan berpuasa sepanjang tahun.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, mendirikan Shalat Dhuha. Shalat Dhuha merupakan ibadah sunah yang sangat dianjurkan. Ia merupakan ibadah pada pagi hari yang rutin dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu menganjurkan umat Islam untuk membiasakan diri mendirikan Shalat Dhuha setiap hari pada waktu pagi.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Shalat Dhuha itu memiliki beragam keutamaan. Di antaranya, Allah akan membangunkan baginya sebuah istana di surga nanti yang terbuat dari emas. Selain itu, Allah akan menghapuskan dosa-dosanya hingga bersih, seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya. (HR Abu Ya’la).

Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang rutin mendirikan Shalat Dhuha akan dicukupkan rezeki dan segala kebutuhan hidupnya oleh Allah. Ia juga akan mendapatkan pahala yang nilainya setara dengan ibadah haji dan umrah.

Imam Thabrani meriwayatkan, orang yang rutin mendirikan shalat wajib dan juga Dhuha, akan masuk surga melalui pintu yang diberi nama adh-Dhuha.

Wasiat ketiga adalah mendirikan Shalat Witir sebelum tidur. Nabi SAW tidak pernah meninggalkan Shalat Witir, baik ketika berada di rumah maupun sedang dalam perjalanan (musafir). Shalat Witir juga memiliki banyak keutamaan.

Dari Kharijah bin Khudzaifah al-Adawi, ia bercerita, “Nabi SAW pernah keluar menemui kami dan beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah yang Mahamulia lagi Mahaperkasa telah membekali kalian dengan satu shalat di mana ia lebih baik bagi kalian daripada binatang yang paling bagus, yaitu Shalat Witir. Dan, Dia menjadikannya untuk kalian antara Shalat Isya sampai terbit fajar.” (HR Abu Dawud).

Sebagai umat Islam, kita berkewajiban untuk melestarikan wasiat Rasulullah SAW itu. Semoga Allah memberikan keringanan dan kemudahan bagi kita semua untuk menjalankan dan mengamalkannya. Amin.