Memuliakan Perempuan

Ibu adalah sosok perempuan yang menjadi pusat kerinduan anak-anaknya yang cemas karena berpisah atau tersesat saat asyik bermain yang melalaikan. Seperti planet dan galaksi, mereka merindukan matahari. Bagaikan liku-liku perjalanan panjang, seperti sungai yang merindukan pertemuannya dengan samudra. Perempuan adalah samudra cinta, tempat segala resah dihapus damai dalam pelukannya.

Kaum perempuan adalah pepohonan yang rindang di padang gersang. Para musafir lelah melepas penat didekap keteduhan bayangannya. Laksana bunga yang merekah, ia menebarkan wewangian pesona jiwa yang menenteramkan.

Karena itu, jangan engkau rusak putik-putik bunga itu, karena mereka akan tersenyum membuka rahasia keindahannya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik di antara kamu sekalian adalah suami yang menghormati istrinya.” Karena itu pula Rasul menyeru, agar setiap hati kaum pria memandang perempuan yang akan mendampinginya sebagai istri sebagai amanah suci dari Allah.

Bila engkau menyia-nyiakan dan menzalimi istrimu, sesungguhnya engkau sedang menantang amarah langit yang akan segera mengirimkan badainya. Merobek dan mencabik siapa pun yang menyakiti hati perempuan ciptaan Ilahi yang paling lembut.

Jagalah hati dan lidah seorang istri, karena dalam getaran hati yang terucap maupun tidak, ada doa di dalamnya. Karena perempuanlah, seseorang akan melambung-menjulang meniti karier dan menapaki kehidupan mulia.

Tetapi, karena perempuan itu pula, manusia tersungkur hancur, menapaki rasa pedih dan kemudian tersisih. Bagaikan samudera yang bergelora dan tak pernah kering, perempuan menjadi sumber inspirasi. Pelengkap mimpi-mimpi para pecinta, goresan pena para pujangga.

Sering kali kita menyaksikan, betapa banyak seseorang sukses dalam kariernya karena ada hati perempuan saleh yang senantiasa berdoa untuknya. Sebaliknya, betapa banyak manusia terjungkal dari pendakiannya, karena ia telah menyia-nyiakan atau bahkan melukai sebongkah hati yang lembut dan bersemayam di jantung perempuan.

Pada suatu saat ada seorang sahabat yang mengeluh karena semua anaknya terlahir sebagai perempuan maka Rasul bersabda, “Jika ada yang mempunyai anak perempuan saja, kemudian ia memeliharanya dengan sebaik-baiknya, anak perempuan itu akan menjadi penangkal dirinya dari api neraka.” (HR Muslim).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah bersabda, “Samakan di antara anak-anakmu dalam hal pemberian. Kalau sekiranya saya sendiri yang akan melebih-lebihkan, maka tentulah anak yang perempuan yang saya lebihkan.” (HR Thabrani dari al-Khatib).

Maka, hormati dan berlakulah lemah lembut pada perempuan. “Jangan engkau paksa anak-anak perempuan, mereka adalah bunga yang mahal harganya.” (HR Ahmad dan Thabrani). Dunia itu adalah perhiasan, tetapi ada perhiasan yang paling mulia, yaitu perempuan yang dijaga dan menjaga diri (salehah).

Tengoklah sejarah, betapa Islam menempatkan kedudukan perempuan sebagai makhluk mulia dan memiliki peran sama pentingnya dengan kaum pria. Maka, tempatkanlah rasa hormat kepada perempuan, jangan melecehkannya.

Oleh: Ustadz Toto Tasmara

Kisah Indah Abu Hurairah

Waktu kecil Abdusy Syams (hamba Matahari) sangat sayang kepada seekor anak kucing betina, yang dalam bahasa Arab disebut Hurairah. Sejak itu, dia dikenal dengan panggilan Abu Hurairah.

Setelah masuk Islam, Rasulullah SAW lebih suka memanggilnya Abu Hirr sebagai panggilan akrab, dan dia lebih suka panggilan itu. Abu Hirr artinya penyayang kucing jantan.

Namun, Rasulullah SAW kemudian mengganti namanya menjadi Abdur Rahman (hamba Allah yang Mahapenyayang).

Abu Hurairah RA berasal dari suku Daus dan dia masuk Islam melalui Thu f ail bin ‘Amir ad-Dausy, salah seorang pe mimpin suku tersebut.

Setelah masuk Islam, pemuda Ad-Dausy ini pergi ke Madinah menemui Nabi dan berkhidmat untuk Rasulullah sepenuh hati. Dia tinggal bersama ahli shuffah di beranda Masjid Nabawi. Tiap waktu dia bisa shalat di belakang Nabi dan mendengarkan pelajaran berharga dari Nabi.

Abu Hurairah punya ibu yang sudah tua dan sangat disayanginya. Dia ingin ibunya memeluk Islam, tapi menolak bahkan mencela Rasulullah SAW. Abu Hurairah sangat sedih. Dia pergi menemui Rasulullah sambil menangis.

“Mengapa engkau menangis, wahai Abu Hirra?” sapa Nabi. Abu Hurairah menjelaskan apa yang menyebabkan hatinya galau, sambil meminta Rasul mendoakan ibunya. Lalu Nabi berdoa agar ibu Abu Hurairah terbuka hatinya untuk menerima Islam.

Suatu hari Abu Hurairah menemui ibunya. Sebelum membuka pintu dia mendengar suara gemericik air, kemudian terdengar suara ibunya. “Tunggu di tempatmu, Nak!”

Setelah dipersilakan masuk, Abu Hurairah kaget tatkala ibunya langsung menyambut dengan ucapan dua kalimat syahadat. Alangkah bahagianya Abu Hurairah, keinginannya tercapai. Segera dia kembali menemui Rasulullah. “Dulu aku menangis karena sedih, sekarang aku menangis karena gembira.”

Abu Hurairah sangat menyayangi ibunya, terlebih setelah ibunya masuk Islam. Dia selalu hormat dan berbakti kepada ibunya. Setiap akan pergi meninggalkan rumah dia berdiri lebih dahulu di depan pintu kamar ibunya mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullah wa barakatuh, ya ummah!”

Ibunya menjawab dengan lembut, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuh, ya bunayya.”

Kemudian, Abu Hurairah mendoakan ibunya, “Rahimakillahu kama rabbay tini shaghira” (semoga Allah mengasihi ibu sebagaimana ibu merawatku waktu kecil).”

Ibunya membalas doa putranya dengan doa yang tidak kalah indahnya, “Wa rahimakallahu kama barartani kabira” (semoga Allah mengasihimu sebagaimana engkau berbuat baik kepadaku setelah engkau dewasa).

Abu Hurairah aktif mengajak orang lain agar memuliakan dan berbuat baik dan menyayangi kedua orang tua. Suatu hari dia melihat dua orang berjalan bersama, yang satu lebih tua dari lainnya. Abu Hurairah bertanya kepada yang muda, siapa orang tua ini? “Bapakku,” jawab anak muda itu.

Lalu Abu Hurairah menasihatinya. “Janganlah engkau memanggilnya dengan menyebut namanya. Jangan berjalan di hadapannya. Dan jangan duduk sebelum dia duduk lebih dahulu.” Begitulah, sisi lain Abu Hurairah, yang sangat sayang kepada ibunya dan hormat kepada yang lebih tua.

Oleh: KH Yunahar Ilyas

Cukup Allah Saja, Bukan yang Lain

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu panggil, kecuali Dia…” (QS Al-Israa: 67).

Biasakan hanya mencari Allah. Biasakan hanya bersandar kepada Allah. Biasakan hanya perlu dan memohon kepada Allah SWT.

Menjelang tahun 2000, saya mendatangi kawan yang tinggal di Bogor. Sekitar 14 jam perjalanan bolak-balik dari Ketapang ke Bogor dan dari Bogor ke Ketapang. Saat itu tidak ada kendaraan pribadi. Niat saya hanya satu, mau pinjam uang dengan kawan saya ini sebesar Rp 30 juta.

Sesampainya di sana, Allah mengajarkan saya melalui pemandangan yang sedang saya lihat. Toko yang sekaligus jadi rumah kawan saya ini sedang dalam proses sita. Saya yang datang ingin meminjam, menjadi tertegun.

Ternyata dia mendapat masalah. Saya yang dalam keadaan serbasalah, sempat ditanya olehnya. “Makasih ya Suf, mau datang. Yah, beginilah hidup. Ngomong-ngomong, ada perlu apa nih?” ujarnya.

Saya jawab sambil berusaha senyum. “He he, mau pinjam tadinya …” kata saya. Spontan, dia pun langsung bertanya, “Berapa?” kata dia. Dan saya pun langsung menjawab ingin meminjam sebesar Rp 30 juta. Mendengar jawaban saya, dia pun langsung tertawa seraya berkata, “Sama Suf. Saya juga butuh segitu,” jawabnya.

Pelajaran yang berharga buat saya. Jika mendatangi orang, ya kayak gitu deh. Bisa membantu pun belum tentu sesungguhnya bisa membantu. Hanya Allah semata yang kalau kita datangi, Dia yang tak punya masalah, Dia nggak punya beban, Dia nggak punya kesulitan, dan Dia selalu menerima tanpa bosan, tanpa menggerutu, tanpa mengeluh ketika seringnya kita datang.

Hanya Dia, yang jika Dia menyapa kita dengan ujian dari-Nya, lalu Dia ingin mendengar rintihan kita. Allah ingin mendengar doa kita. Rintihan dan doa dari seorang yang mengetahui bah wa dirinya tidak mampu dan tidak ada yang bisa menolong kecuali Dia.

Rintihan dan doa yang datang dari seorang hamba yang mengetahui bahwa Dia pasti bisa membantu dan tidak ada Tuhan yang disandarkan lagi seluruh persoalan kecuali kepada-Nya.

Pengalaman berharga menjelang tahun 2000 itu, membuat saya berpikir sesal namun senang. Mengapa saya datang jauh-jauh kepada manusia? Tapi saya tidak menyesal. Saya jadi tahu, memang saya salah datang. Saya datang kepada manusia yang pastinya sama-sama punya masalah, punya kebutuhan dan keperluan.

Alhamdulillah, Allah yang Mahamemberi hikmah. Sejak saat itu saya memosisikan diri seperti orang yang sedang terkena badai di tengah lautan, langsung memanggil dan memohon kepada Allah, dan hanya Allah. Sebab, memang tiada yang lain.

Untuk itu, wahai saudaraku, segeralah temui Allah. Allah ada di masjid, segeralah ke masjid, shalat berjamaah tepat waktu. Kembali lagi baca Alquran, keluarkan sedekah di saat sulit atau sedang lapang, dan cintai ibadah-ibadah sunah. Terima seluruh kesulitan dan kesusahan dengan penuh keikhlasan dan rida (mengharap) hanya kepada-Nya.

Oleh: Ustadz Yusuf Mansur